Anakku,
Apa dikau lihat pada 2 jambatan itu?
Keduanya menghubungkan 2 daerah asing,
Merapatkan jarak
Yang dahulunya dipisahkan oleh sungai yang deras.
Anakku,
Apa dikau lihat pada 2 jambatan itu?
Satunya dilalui,
Satunya sepi,
Satunya utuh,
Satunya rapuh.
Anakku,
Akulah jambatan itu,
Jambatan yang rapuh,
Menanti masa untuk runtuh.
Aku masih ingat,
Kereta-kereta kecil merayap perlahan,
Lebih banyak yang berjalan kaki,
Ketawa anak kecil,
Dan omelan Tok Peraih,
Meniti tubuhku yang bertiang konkrit beralas kayu.
Noktah,
Aku bersyukur dinoktahkan sebegini,
Berhenti, namun teguh berdiri.
Tak banyak yang memiliki tuah sebegini.
Aku bangga menjadi guru,
Buat dirimu anakku
Jambatan baharu di sebelahku.
Dikau lebih kuat, lebih luas, lebih masyhur,
Namun,
Dikau tidak sempat merasa air jernih yang mengalir di
kakiku,
Tidak sempat merasa geletek sebarau, lampan, dan kelah
Yang meminta bayangku sebagai pelindung.
Wahai anakku,
Dugaan yang dikau hadapi,
Sesuai dengan kekuatan dirimu.
Sungguh kau susah,
Tapi tidak sendirian,
Pandanglah ke sisimu,
Kau akan lihat aku penuh setia menanti
Saban hari
Walau sesaat lagi aku bisa roboh
Aku cukup berbangga
Mengenali dirimu, sungai ini, dan isinya.
Teruslah berkhidmat,
Sampai satu masa bernoktah,
Jadilah noktah terakhir di pertengahan babak,
Berakhir bukan untuk tamat,
Namun berakhir untuk bermula.
No comments:
Post a Comment